Jakarta, TM. – Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) bersama Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC) menggelar diskusi bertema “Indonesian Civil Society’s Filing of an Objection Letter to the EU Parliament About the EUDR Postponement” di Hotel Des Indes, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).
Diskusi ini fokus pada keputusan Parlemen Uni Eropa untuk menunda implementasi Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) hingga 2025.
Penundaan EUDR disetujui melalui mekanisme voting pada 14 November 2024, setelah diajukan Komisi Uni Eropa sebelumnya. Keputusan ini menuai perhatian berbagai pihak, termasuk organisasi lingkungan dan pemerintah Indonesia, yang memiliki pandangan beragam terhadap implikasinya.
Penundaan EUDR dan Kritik Satya Bumi
Ketua Satya Bumi, Andi Muttaqin, menyatakan penolakannya terhadap penundaan tersebut.
Menurutnya, EUDR adalah instrumen penting untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dan memperbaiki tata kelola sumber daya alam yang selama ini lemah.
“Kami menolak penundaan ini. Regulasi EUDR seharusnya menjadi momentum untuk mengurangi deforestasi dan mendorong transparansi pengelolaan lingkungan,” ujarnya.
Satya Bumi menggarisbawahi tiga poin penting: Mendorong tata kelola yang lebih baik, khususnya di sektor perkebunan dan kehutanan, Persiapan petani kecil agar mampu beradaptasi dengan standar keberlanjutan, dan Memperkuat kebijakan lingkungan yang selama ini dianggap tidak efektif.
Meski begitu, Andi menyoroti bahwa Indonesia belum memiliki undang-undang tegas yang melarang deforestasi, bahkan kebijakan yang ada sering membuka ruang untuk penggundulan hutan secara legal.
Asisten Deputi Direktur Pemasaran Internasional Produk Perkebunan, M. Fauzan Ridha, menekankan tantangan yang dihadapi petani kecil akibat penundaan EUDR. Salah satu strategi utama adalah penerapan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia.
“STDB penting untuk memastikan keterlacakan data perkebunan. Verifikasi berbasis digital dan mandiri oleh petani menjadi kunci,” jelas Fauzan.
Hingga kini, telah diterbitkan 63.418 STDB dengan cakupan 499.695 hektar. Namun, angka ini masih jauh dari target, sehingga pemerintah terus mendorong percepatan.
Penundaan EUDR, yang didukung oleh beberapa negara seperti Indonesia dan Malaysia, memunculkan kekhawatiran akan perlambatan upaya perlindungan hutan secara global. Namun, regulasi ini juga dianggap sebagai peluang bagi Indonesia untuk memperkuat kebijakan lingkungan dan tata kelola sektor perkebunan.
EUDR diharapkan menjadi tonggak dalam meningkatkan transparansi, menekan deforestasi, dan mendorong praktik berkelanjutan, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia.(TM-04)
Discussion about this post