Ambon,TM, – Praktik korupsi menjadi masalah sentral dalam tata kelola hutan di Indonesia. Korupsi di sektor kehutanan, termasuk pengelolaan sumber daya mineral, merupaka isu yang kompleks.
Pernyataan ini disampaikan Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sulistyanto, saat menjadi pembicara Green Press Community 2024, di M Bloc Space, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11).
Sulistyanto menilai, kompleksitas korupsi dalam tata kelola hutan telah dimulai dari proses politik dan perumusan kebijakan. Kompleksitas tata kelola hutan itu diperparah dengan praktik korupsi dalam pengelolaan kawasan hutan, yang melibatkan sektor swasta dan pemerintah.
“Wajah korupsi yang ada di sektor kehutanan dan SDA mulai bergeser, dari soal suap dan gratifikasi menjadi declarator capture dan pengambilan keputusan,” kata Sulistyanto
Ia mengungkapkan, sektor SDA telah lama menjadi fokus perhatian akibat berbagai bentuk korupsi yang merugikan negara dan masyarakat. Selama ini kasus korupsi SDA mencakup berbagai aspek perizinan hingga pengelolaan SDA.
Kegiatan mitigasi yang dilakukan KPK, kata Sulistyanto, meliputi penggunaan metodologi Corruption Risk Assessment (CRA). Sedikitnya ada 18 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan rentan terhadap praktik korupsi.
“Ini terjadi dalam bisnis perizinan, di mana proses mulai dari perencanaan hingga pengawasan ternyata rawan terhadap praktik suap,” paparnya.
Selain kerugian keuangan negara, Sulistyanto mengingatkan, korupsi dalam sektor SDA juga berdampak terhadap lingkungan.
Merujuk penelitian KPK, ujar Sulistyanto, potensi kerugian dari penerbangan kayu ilegal dan produksi kayu yang tidak dilaporkan diperkirakan mencapai Rp5 triliun hingga Rp7 triliun per tahun.
Lebih lanjut, Sulistyanto membeberkan sektor kehutanan dan SDA juga minim pengawasan. Hal itu telah memicu munculnya izin-izin tambang ilegal.
Pada kesempatan yang sama, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Tibiko Zabar, menyebut akar kerusakan lingkungan dipicu oleh korupsi. Sementara itu, komitmen penegakan hukum juga masih rendah. Bahkan, vonis hukuman terhadap pelaku korupsi SDA terbilang rendah.
Pada 2023, ungkap Tibiko, rata-rata hukuman penjara bagi pelaku korupsi hanya 2 hingga tiga tahun. Hukuman itu tak sebanding dengan total kerugian yang ditimbulkan.
“Belum lagi bicara soal besarnya biaya pemulihan kerusakan lingkungan,” terangnya.
Sepanjang periode 2006-2015, ICW mencatat, potensi penerimaan negara yang hilang akibat korupsi dari sektor kehutanan mencapai Rp499,5 Triliun. Data itu diperoleh dari BPS dan pencatatan negara.
Untuk itu, Tibiko mendorong isu penerimaan negara dan SDA harus menjadi fokus perhatian para penegak hukum. Hal itu penting demi menyelamatkan pendapatan dan keuangan negara.
“Kemudian, arah penindakan tidak hanya berfokus pada isu pembelanjaan negara, tapi juga diimbangi dengan penerimaan negara. Agar dapat memaksimalkan potensi penerimaan negara yang hilang,” katanya. (**)
Discussion about this post