Ambon, TM.- Menjadi hari yang kelam bagi DTP, seorang siswa kelas XII-F13 SMA Negeri 1 Ambon. Ia menjadi korban perundungan fisik oleh sekelompok siswa di dalam ruang kelas, sebelum jam pelajaran dimulai. Peristiwa ini terjadi antara pukul 07.10–07.15, saat guru-guru sudah berada di sekolah, namun tidak ada tindakan pencegahan.
Lusi Peilouw, ibu korban, mengungkapkan kekecewaannya terhadap kurangnya respons pihak sekolah.
“Anak saya dihajar di depan teman-teman sekelasnya, tanpa ada satu pun yang berani melerai. Guru tidak peka terhadap situasi ini,” ujar Lusi.
Setelah kejadian, DTP tetap mengikuti proses belajar-mengajar sambil menahan rasa sakit akibat pukulan yang diterimanya.
Baru setelah jam pelajaran selesai, ketua kelas dan ketua OSIS melaporkan insiden tersebut kepada wali kelas, yang kemudian membawa kasus ini ke bagian kesiswaan.
Tidak berhenti di situ, ancaman berlanjut setelah sekolah. Saat Lusi dan anaknya meninggalkan sekolah untuk melapor ke Polresta Pulau Ambon dan Lease, mereka dibuntuti oleh dua siswa dengan sepeda motor. Salah satu pelaku bahkan memukul kepala DTP, meski terlindungi oleh helm.
“Ini bentuk teror. Sekolah favorit seperti SMA Negeri 1 Ambon, kok bisa memiliki siswa yang bermental preman?” keluh Lusi.
Ia juga menyampaikan kekecewaannya karena pihak sekolah tidak segera mengambil langkah disiplin terhadap para pelaku. Kedatangan polisi di sekolah pun tidak disertai tindakan konkret dari pihak sekolah, seperti pemanggilan pelaku atau upaya perlindungan kepada korban.
Permintaan Tindakan Tegas
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada berbagai pihak, Lusi mendesak evaluasi menyeluruh terhadap SMA Negeri 1 Ambon.
Ia meminta Dinas Pendidikan Provinsi Maluku, DPRD Maluku, dan Kementerian Pendidikan untuk: Pertama, menjamin keamanan siswa di sekolah, Memberikan sanksi kepada pihak sekolah yang lalai, dan ketiga, Memastikan penerapan aturan anti-perundungan.
Lusi juga meminta Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas HAM untuk memantau efektifitas program anti-perundungan yang sudah dilakukan di sekolah.
Insiden ini meninggalkan trauma mendalam bagi DTP. “Anak saya tidak mau berbicara tentang kejadian itu, bahkan takut melewati depan sekolah. Ia meminta bantuan psikolog untuk mengatasi rasa takut dan trauma yang dialaminya,” ujar Lusi.
Sebagai bentuk tanggung jawab, ia juga meminta sekolah bekerja sama dalam proses hukum yang tengah berjalan.
“Sekolah seharusnya menunjukkan keberpihakan kepada korban, bukan membiarkan premanisme tumbuh subur di lingkungan pendidikan,” tegasnya.(TM-02)
Discussion about this post