Ambon, TM.- Perampasan jenazah covid-19, belakangan ini menjadi fenomena di Kota Ambon. Kebanyakan kerabat pasien tidak percaya jika pasien yang tadinya masuk dengan diagnosa atau keluhan sakit lain, saat meninggal dunia, justru divonis covid.
Dibeberapa RS, seperti di RSUD, RST, Siloam, dan RSUP dr. Leimena, sering terjadinya aksi perampasan jenazah oleh pihak keluarga. Meski akhirnya nanti ada pihak keluarga yang akan mengerti ketika mediasi dilakukan, sehingga jenazah dapat dimakamkan secara covid.
Kebanyakan, warga justru menolak dan tetap memulangkan jenazah di rumah mereka dan dimakamkan sendiri tidak sesuai protokol covid.
Menanggapi hal ini, Anggota Komisi I DPRD Kota Ambon, Saidna Bin Tahir, kepada Timesmalulu.com, di Balai Rakyat Belakang Soya, Rabu (28/7/2021) berjanji.
Terkait persoalan itu, selaku mitra komisi dengan Dinas Kesehatan, pihaknya akan mengundang, tidak hanya Dinkes, tetapi juga Faskes-faskes yang ada di Kota Ambon.
“Dalam beberapa hari kedepan, kita akan panggil dinas terkait. Ini juga terkait pengambilan jenazah covid secara paksa oleh pihak keluarga, saya contohkan pasien di RSUP dr. Leimena beberapa waktu kemarin, dimana pasien meninggal divonis covid, tetapi kemudian tidak diterima oleh pihak keluarga, sehingga terjadi perampasan jenazah,”ujar Saidna.
Jika perlu, pihaknya juga akan menyampaikan hal ini resmi kepada DPRD secara kelembagaan melalui Pansus, agar mengundak dinas terkait untuk membahas hal itu. Ini harua menjadi perhatian bersama. Karena ini merupakan persoalan rakyat, persoalan kemanusiaan.
Dia juga menyingung terkait pemberlakuan PPKM di Kota Ambon, yang mana ini merupakan turunan dari Instruksi Kemendagri yang sebenarnya menjebak masyarakat. Pasalnya, ketika masyarakat dibatasi pergerakannya, namun tidak dijamin kehidupannya.
“Masyarakat ini justru terjebak dengan instruksi ini. Artinya, masyarakat diminta batasi pergerakan, tapi legal standing dari instruksi itu tidak ada dampak hukumnya,” kata dia.
“Misalnya, ketika masyarakat batasi pergerakan, tapi regulasi dasar hukum pelaksana adalah instriksi, bukan PSBB, sehingga masyarakat tidak bisa diedukasi dengan kebutuhan hidup, karena instruksi tidak mengatur tentang bagaimana konsekwensi masyarakat terhadap orang yang dibatasi pergerakannya,”tambah dia.
Hal itu tentu berbeda dengan PSBB, dimana PSBB adalah perintah UU Karantina yang turunannya adalah PSBB. Sehingga masyarakat berdiam diri tetapi difasilitasi. Ini juga menjadi catatan bagi Pemkot agar bagaimana sama-sama mencari solusi, sehingga problem masyarakat ini cepat berlalu.
“Bagaimana kita mau lihat masyarakat bisa dapatkan mata pencarian yang baik, sementara dari zona orange. Kita berharap naik ke kuning, nyatanya balik turun me merah, itu yang akan kita pertanyakan nanti. Karena masyarakat prinispnya mengikuti aturan Pemerintah, tapi apa solusinya,”cetusnya. (TM-01)
Discussion about this post