Ambon, TM.- Masyarakat adat Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) kembali melakukan aksi penolakan terhadap kehadiran perusahaan tambang.
Kali ini penolakan dilakukan terhadap PT Batu Licin 69. Perusahaan ini secara diam-diam telah melakukan pengangkutan sebanyak 30 ribu ton material nikel menggunakan tiga tongkang ke Kalimantan Selatan.
Aktivitas ini dilakukan tanpa ada kesepakatan antara pihak perusahaan dan masyarakat adat. Fatalnya, dalam tindakan ilegal, perusahaan tersebut mendapat pengawalan ketat dari oknum personil Brimob bersenjata lengkap.
Masyarakat adat meminta agar perusahan menghentikan aktivitasnya dan segera angkat kaki, karena masih banyak investor yang dapat mengelola SDA di kabupaten tersebut. Apalagi sasi adat yang di pasang oleh masyarakat setempat untuk menghentikan aktivitas perusahan, telah dirusak.
“Kami sebagai masyarakat adat Negeri Piru sangat menyesal, karena kami tidak dihargai dan adat kami diinjak-injak,”ucap tokoh adat Agus Latusia didampingi Boy Persouw dan Markus Manuputty kepada media ini di lokasi tambang di kawasan Kobar, Desa Piru, Kecamatan Seram Barat, Senin 5 April 2021.
Agus menuturkan, awalnya PT Manusela Prima Minim yang melakukan aktivitas penambangan. Perusahan telah berjanji akan melakukan pembicaraan untuk menyelesaikan hak-hak masyarakat adat dan pemilik ulayat, sebelum melakukan kegiatan.
Hal ini dibuktikan lewat pertemuan antara pihak perusahaan dan masyarakat adat. Sayangnya, dalam pertemuan itu belum ada kesepakatan diantara kedua belah pihak. Dari rapat negeri, telah disepakati penolakan terhadap aktivitas perusahan tersebut, ditandai dengan pemasangan sasi adat.
Setelah sempat aktivitas terhenti, kini tiba-tiba masyarakat dikejutkan dengan adanya aktivitas dilokasi tambang di tahun 2021. Bahkan sudah ada pengangkutan material nikel keluar dari daerah.
Setelah melakukan pengecekan, ternyata PT Manusela Prima Minim telah diakuisisi oleh PT Batu Licin 69. “PT Batu Licin 69 memang pernah melakukan pertemuan dengan kami, tapi belum ada kesepakatan. Kami berharap setelah ada kesepakatan barulah aktivitas berjalan,”tukasnya.
Menyikapi kelancangan yang dilakukan oleh PT Batu Licin 69, Agus mengaku telah menyampaikan protes ke pemerintah Kabupaten SBB dan Provinsi Maluku, namun sayangnya tidak digubris.
“Proses ini sebenarnya sudah berjalan cukup lama. Permasalahannya, kita tidak tolak tambang, namun investor harus berbicara dengan 18 mata rumah yang ada di Negeri Piru. Awalnya dari hasil rapat negeri, kita sudah sepakati tolak aktivitas PT Manusela Prima Intim. Tapi tiba-tiba ini ada lagi perusahan Batu Licin 69 lakukan aktivitas,”sambung tokoh adat lainnya, Boy Persouw.
Persouw menyebutkan, dalam rapat 9 Maret 2021 dipimpin camat setempat dihadiri 18 mata rumah, Kabagops mewakili Kapolres SBB dan pihak PT Batu Licin 69, ditawarkan dana kompensasi sebesar Rp 50 juta per bulan.
“Namun berdasarkan hitung-hitungan dari Peraturan Menteri ESDM nomor 11 tahun 2020, disebutkan ada standarisasi harga patokan mineral. Jadi kami minta 30 persen dalam rapat itu, yang nantinya diteruskan oleh staf perusahan kepada pemimpin perusahan. Jadi kita masih menunggu hasilnya dalam rapat berikutnya,”tukasnya.
Menariknya, belum lagi rapat kedua dilaksanakan, pihak perusahan telah melakukan aktivitas pada 12 Maret 2021. Sasi yang telah dipasang warga juga telah dibongkar oleh pihak perusahan.
“Jadi sasi ini dilakukan agar pihak perusahan datang berbicara dengan kita sebagai pemilik ulayat. Sebagai anak negeri Maluku, kami punya hak ulayat yang harus dihargai. Sekali angkut, dibawa 30 ribu ton material nikel dengan harga rendah sekitar 12,6 M. Jadi kita minta 8 dolar per ton atau Rp 120 ribu. Masa kita dikasih 50 juta. Jumlah masyarakat Piru, 18 ribu jiwa. Ekonomi Piru bagaimana mau berjalan hanya dengan dkasih 50 juta, sedangkan milyaran rupiah dibawa ke Tanah Laut, Kabupaten Kalimantan Selatan. Kalau seperti ini, Maluku tetap menjadi provinsi termiskin. Saya merasa tersinggung dihargai Rp 50 juta,”tegasnya.
Pernyataan keras juga disampaikan Markus Manuputty. Dia menekankan, jika perusahan tidak datang menyelesaikan keseoakatan dengan masyarakat, pihaknya meminta agar perusahan segera keluar.
“Segera selesaikan hak-hak kami. Ada banyak perusahan di Indonesia yang akan mengelola sumber daya alam kami. Masa cuma dikasih Rp 50 ribu, mana mungkin bisa dibagi kepada 18 mata rumah. Kami ingin untuk ikut standard pemerintah, kalau tidak mau silahkan keluar. IUP dia punya, tapi tanah kami yang punya, jangan tipu-tipu kami masyarakat adat,”pungkasnya. (TM-02)
Discussion about this post