Ambon, TM. – Kejaksaan Tinggi Maluku, mentahkan hasil penyidikan Kejaksaan Negeri Saumlaki, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dengan membebaskan Bi Siong, dan Sandi Wattimena. Keduanya sempat dijadikan tersangka kasus korupsi.
Bersamaan beritanya viral, Rabu 4 November 2020, Sandi Wattimena juga di Kantor Kejati Maluku. Untuk apa Kadis Pemuda dan Olahraga Provinsi Maluku ini disana, tapi keberadaannya bersamaan dengan pemberitaan penghapusan status tersangka dugaan korupsinya oleh penyidik lembaga adhiyaksa itu.
Sandi sapaan Kadispora Maluku itu, bersama Bi Siong dan dua rekan lainnya ditetapkan tersangka oleh penyidik Kejaksaan Negeri Kepulauan Tanimbar, sebelum diambil alih oleh Kejati Maluku. Mereka terlibat kasus dugaan korupsi proyek Drainase, di Desa Sifnana, Kota Saumlaki tahun 2015.
Kehadiran Sandi itu tidak diketahui pasti tujuannya. Hanya saja, Sandi yang di tanya kehadiranya usai menyapa Kajati Maluku Utara, Eryl Agoes yang tiba di Kejati Maluku itu. Sandi terlihat menyapa mantan Wakajati Maluku dan ada dalam diskusi singkat.
Sandi dengan lantang mengaku, ada pengurusan. “Pengurusan didalam,” jawab Sandi saat ditanya, sambil berjalan meninggalkan kantor Kejati Maluku.
Kehadiran Sandi yang cukup rahasia itu, di konfirmasi ke Kasipenkum Kejati Maluku, Sammy Sapulette menyebut tidak mengetahui kehadirannya. “Tidak tau,” akui Sammy.
Sementara kaitan dengan penhapusan status tersangka mereka, Sammy mengaku, belum pernah melihat Surat Penetapan Tersangka dalam perkara tersebut. Namun, yang pasti kasus tersebut telah dihentikan di tahap penyidikan.
“Seperti saya sudah jelaskan bahwa perkaranya sudah dihentikan penyidikannya sejak tahun 2019. Dan kalau toch ada tersangkanya juga perkara tersebut tetap dapat dihentikan sebagaimana implisit dalam pasal 109 ayat 2 KUHAP,”jelas Sammy.
Sementara, Praktisi Hukum, Henry Lusikooy yang diminta pendapatnya mengaku, pengembalian kerugian negara tentu tidak menutupi perbuatan, apalagi dalam kasus dimaksud telah ditetapkan tersangka.
“Tidak menutupi perbuatan, apalagi sudah ada tersangka. Memang itu kewenangan mereka, namun harus dilihat juga efek jerahnya. Karena sudah diketahui tersangka yang otomatis ada perbuatan pidananya. Apalagi ini kaitan dengan Korupsi,” sebut Lusikooy menanggapi, alasan penghentian penyidikan dan penghapusan status tersangka mereka.
Menurut Kejati, perkara tersebut telah dihentikan penyidikannya sejak tahun 2019. Penghentian penyidikan beserta status tersangka berdasarkan hasil penyidikan berupa pemeriksaan fisik pekerjaan oleh ahli bidang teknis yang terdapat kekurangan volume pekerjaan pembangunan sistem Drainase Primer Kota Saumlaki Kabupaten Kepulauan Tanimbar Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp. 47.098.056.
“Nah, kaitan dengan alasan yang salah satunya mengacu pada perhitungan alih bidang teknis dalam mengukur nilai kerugian adalah sesuatu yang menurut saya keliru. Pasalnya, lembaga yang berkaitan dengan perhitungan kerugian negara adalah lembaga BPK atau lagi BPKP. Sehingga dasar ini, ada sesuatu yang salah,” ujar Dia.
Penghentian perkara dengan status tersangka dalam suatu perkara korupsi, adalah sesuatu hal yang salah dan keliru. Dan bisa dikatakankinerja hukum yang hanya menghamburkan duit negara.
“Penyelidikan dan penyidikan itu biaya. Anggaranya ada. Ahli di panggil ada bayarnya hingga mencari sumber bukti lainnya. Jadi mereka harus tegas, harus ada efek jerah. Ini kan bisah saja para pelaku koruptor lain bisah melakukan hal yang sama. Nanti kasih kembali lalu dihentikan,” tandas Henry.
Sebagaimana diketahui, Kejari Saumlaki di KKT telah resmi menetapkan Bos PT Tiga Ikan, Hendro Wibisono sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pembangunan drainase di Desa Sifnana, Kabupaten MTB tahun 2015.
Hendro dijerat sebagai tersangka, setelah tim penyidik melakukan ekspos bersama dengan Kepala Kejari MTB, Frengkie Son Laku pekan lalu.
“Untuk kegiatan itu telah dicairkan semuanya, termasuk ada anggaran jalan senilai Rp1.030.000.000 yang telah dicairkan pada tahun 2015, tetapi hingga kini belum ada kegiatan rekondisi jalan yang rusak untuk pembangunan drainase di bawah jalan,” kata Frangkie Son Kajari Kepulauan Tanimbar kepada wartawan, Kamis, 25 Juni 2018 lalu.
Dia menjelaskan, pemeriksaan atas dugaan kasus tipikor itu dilakukan sejak awal 2018. Setelah dilakukan penyelidikan, jaksa menyimpulkan telah terjadi perbuatan tindak pidana korupsi, dibuktikan dengan dua alat bukti.
Tersangka Hendro Wibisono dan tiga rekannua dijerat dengan pasal berlapis yaitu, pasal 2 dan 3 UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2001, dengan ancaman hukuman minimal satu tahun dan maksimal 20 tahun.
“Walau begitu kami belum menahan tersangka karena ketika kami naikan statusnya menjadi tersangka yang bersangkutan langsung mengembalikan kerugian negara sebesar Rp1.030. 000.000,” kata Frangkie.
Mantan Kepala Kejari Serui, Papua itu menambahkan, saat Hendro Wibisono mengembalikan kerugian negara, ia berharap kasusnya dapat dihentikan. Namun, harapannya tidak bisa dikabulkan.
“Saya sudah nyatakan kepada tersangka bahwa dari UU tipikor ini adalah bukan menyelamatkan seseorang, tetapi untuk menyelamatkan keuangan negara yang sudah telanjur dilakukan,” ujar Frangkie.
Lalu menambahkan, jaksa masih melakukan pengembangan untuk mendalami keterlibatan pihak lain, seperti konsultan pengawas, panitia lelang atau mereka yang berperan menandatangani SPB, SPM dan SP2D. ()
Discussion about this post