Ambon, TM.- Proyek pembangunan PLTMG 10 MW tahun anggaran 2016 di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku, mendapat perhatian dari Deputi I Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Pasalnya, salah satu proyek vital yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat di Pulau Buru ini terancam mangkrak, karena persoalan lahan yang berujung proses hukum di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku.
Menyikapi kondisi itu, Deputi I KSP yang membidangi monitoring dan pengendalian proyek strategis nasional, telah melakukan pertemuan pertama dengan beberapa pihak di Jakarta, Selasa 16 Maret 2021.
Pihak-pihak yang diundang diantaranya Pemilik Lahan, Fery Tanaya, Kuasa Hukum Herman Koedoeboen, pihak PLN Maluku dan Jakarta, Raja dari Jiku Besar dan ketua Paguyuban Buru, Bursel d Jakarta. Pada pertemuan kedua, rencananya Kejati Maluku dan Komisi Kejaksaan, BPN dan BPKP juga akan diundang.
Ketua Tim Kuasa Hukum, Herman Koedoeboen yang dihubungi via ponselnya, Selasa sore mengakui adanya pertemuan tersebut. Dirinya telah diundang menghadiri pertemuan bersama kliennya Fery Tanaya, di kantor Deputi I KSP, Jakarta.
“Jadi kami diundang, juga pihak PLN dan pihak masyarakat di Pulau Buru, yang berkeberatan atas mangkraknya, proyek PLTMG milik PLN di sana,”ungkap Koedoeboen.
Menurutnya, dalam pertemuan itu, PLN dan pihaknya diundang untuk mengklarifikasi dan memberikan pendapat/pandangan, tentang persoalan yang menyebabkan proyek tersebut mangkrak.
Pihak PLN juga sudah membuat naskah dan menelusuri semua dokumen, terkait dengan kepemilikan lahan yang diklaim sebagai milik negara, sedangkan pihaknya sudah memberikan semua penjelasan mengenai lahan milik kliennya yang telah dijual kepada pihak PLN untuk pembangunan proyek tersebut termasuk bukti autentik lainnya.
Mantan Kajati Gorontalo ini menyebutkan, akan ada pertemuan lanjutan yang dilakukan dengan mengundang pihak BPKP, BPN dan Kejati Maluku, untuk melihat persoalan secara jernih, agar dapat diketahui penyebab terbengkalainya proyek tersebut.
“Jadi intinya, ingin diketahui penyebab tidak lancarnya perkembangan proyek, karena tidak ingin proyek yang sangat penting untuk masyarakat Buru ini mangkrak,”jelasnya.
Mantan Wakajati Maluku ini juga menjelaskan, dari pertemuan tersebut terkesan prosedur yang ditempuh oleh PLN untuk pelepasan hak sudah procedural dan tidak ada masalah. Sedangkan complain lahan sebagai hak milik negara yang menjadi titik masalah, lanjut Koedoeboen, belum ada kejelasan karena pihak BPN dan Kejati Maluku belum hadir untuk memberikan penjelasan.
Koedoeboen juga mengungkapkan, peta bidang baru yang dibuat BPN Namlea untuk menunjukan bahwa lahan itu adalah milik negara juga akan dibahas dalam pertemuan selanjutnya, karena dibuat belakangan setelah perkara ini berjalan.
“Jadi akan dipertanyaka nanti dalam pertemuan ke dua, akan didalami seluruh problem. Tapi, bahan-bahan kita sudah kita masukkan semua, termasuk dokumen asal mula kepemilikan, termasuk fakta fisik yang diperkuat dengan perkebunan kelapa milik Fery Tanaya,”imbuhnya.
Dalam pertemuan itu, dirinya telah menyampaikan tentang penyidikan kasus pidana pemberian keterangan palsu dengan tersangkanya, diperkuat dengan pemberitahuan SPDP kepada pelapor.
“Deputi I KSP rencananya juga akan mengunjungi Namlea untuk melihat pekerjaan fisik secara langsung. Kurang lebih tanggal 21 atau 22 Maret 2021 untuk monitoring langsung, termasuk proyek bendungan. Balik dari sana, kita akan diundang semua. Pastinya Kejati Maluku, komisi kejaksaan dan kita diundang semua,”pungkasnya. (TM-02)
Discussion about this post