Ambon, TM.- Proyek jalan Lamahang -Rana, yang berada di Kabupaten Buru, sudah dikerjakan sejak tahun 2018 lalu. Sasaran utama dari pekerjaan proyek ini adalah untuk menghubungkan desa-desa yang terisolir di sepanjang pesisir Kecamatan Waplau hingga Danau Rana.
Namun dalam proses pelaksanaan proyek, banyak dijumpai praktek-praktek yang tidak sesuai, baik itu dengan isi kontrak, jadwal pelaksanaan maupun anggaran yang disediakan.
Akibatnya, di duga telah terjadi penyalahgunaan anggaran yang berujung pada tindak pidana korupsi.
Data yang ada pada LSM LIRA Maluku, dalam APBD 2018, Dinas PUPR Buru telah menganggarkan belanja modal sebesar Rp. 295,9 Miliar dengan realisasi Rp. 262,1 Miliar.
“Dari realisasi Rp. 262,1 M tersebut, sebesar Rp. 19 Miliar di anggarkan untuk proyek jalan Lamahang- Rana. Proyek ini dimenangkan oleh PT Kaironi, perusahaan luar daerah dengan alamat Jln. Drs. Esau Sesa, Manokwari, Papua Barat,”tulis Gubernur LSM Lira Maluku, Yan Sariwating dalam rilisnya kemarin.
Sariwating menjelaskan, dengan memasukan penawaran tertinggi sbebesar Rp. 19.1 Miliar dari pagu anggaran Rp. 19.9 Miliar, perusahaan ini berhasil menyisihkan 6 perusahaan lainnya yang ikut dalam proses lelang.
“Surat perjanjian kontrak no. 600.25/kontrak-jalan/DPUPR- KB/VII/2018 tanggal 16 Juli 2018 hari Senin, di tandatangani oleh masing-masing, Hasan Wael ST. MSi sebagai PPK & Junaedi, Dir. PT Kaironi sebagai kontraktor serta di ketahui oleh Kadis PUPR, Sifa Alattas, ST,”ucapnya.
Pekerjaan di mulai tanggal 16 Juli dan harus selesai 13 Desember 2018 sesuai kontrak 150 hari kalender.
Namun dengan alasan sulitnya bahan material dan tingginya curah hujan, perusahaan minta addendum dengan jangka waktu ditambah menjadi 90 hari.
Walaupun jangka waktu addendum sudah berakhir di bulan Maret 2019, namun lanjut Sariwating, konsultan pengawas proyek ini menemukan pekerjaan baru sekitar 60%, atau setara dengan dana sebesar Rp. 12 Miliar dari total nilai pekerjaan Rp. 19 Miliar.
“Celakanya, sesuai data yang kami miliki proyek ini sudah dibayar lunas 100% yaitu Rp.19 Miliar. Ada 4 termin ( tahap ) dalam melakukan pembayaran kepada perusahaan. Termin pertama dibayar Rp. 3.810.000.000,- tgl 30 Juli 2018 sebagai uang muka. Artinya baru 2 minggu setelah kontrak ditanda tangani dan belum ada kegiatan apapun, namun perusahaan sudah dibayar sebesar itu,”sambungnya.
Termin kedua, dibayar Rp. 3.810.000.000,- tanggal 21 Des. 2018. Termin ketiga dibayar Rp. 3.810.000.000,- tanggal 06 Agst 2019, termin keempat sebesar Rp. 6.667.500.000,- tanggal 11 Maret 2020 dan termin kelima dibayar Rp. 952.500.000,- tanggal 03 April 2020.
Sariwating menyebutkan, melihat kenyataan yang terjadi ditambah dengan hasil yang di sampaikan oleh konsultan pengawas, maka seyogianya , perusahaan ( kontraktor ) tidak berhak untuk menerima seluruh dana yang tertera dalam kontrak.
Dia menduga ada tangan-tangan siluman yang telah merekayasa proyek ini untuk kepentingan pribadi maupun kelompok serta korporasi.
Ada dana sebesar Rp. 7 Miliar ( Rp.19 M — Rp. 12 M ) yang diduga menguap akibat proses pembayaran yang melebihi pekerjaan di lapangan. Hal tersebut disebabkan karena Kadis dan PPK lalai dalam melakukan pengawasan di lapangan.
“Harus ada yang bertanggung jawab atas menguapnya dana sebesar Rp. 7 miliar ini. Untuk itu, kami akan meminta Kejati Maluku melakukan penyelidikan atas kasus ini. Kelak kalau ternyata dari hasil penyelidikan ada pihak-pihak yang sengaja ingin memperkaya diri pribadi maupun kelompok, de ngan merekayasa proyek ini, maka harus di proses sesuai ketentuan hukum yang berlaku,”pungkasnya. ()
Discussion about this post