Ambon,TM – Masyarakat adat di Indonesia sudah memiliki hukum adat demi pelestarian lingkungan. Mereka memiliki hukum yang mengatur konservasi alam, jauh sebelum Indonesia merdeka. Sebut saja di seputar laut Wallacea yang merupakan kawasan biogeografis di laut bagian tengah kepulauan Indonesia.
Masyarakat adat di sana sudah paham betul cara menjaga alamnya. Misalnya hukum sasi di Kepulauan Maluku yang memiliki ribuan pulau kecil. Sasi ialah hukum adat yang mengatur dan melarang warga mengambil hasil alam secara masif dan berlebihan.
Warga tak boleh mengambil dalam waktu tertentu melalui kesepakatan di suatu kawasan. Tujuannya agar hasil alam terjaga dan panen lebih maksimal. Sasi memiliki fungsi konservasi tersendiri.
“Hukum sasi itu bagaimana menjaga sumber daya alam, ada sasi darat dan laut. Singkatnya pelarangan di wilayah itu. Kalau jumlah tangkapan menurun dilakukan pelarangan yang aktivitas merusak ekosistem,” jelas Kontributor Liputan6.com Maluku Abdul Karim dalam acara Green Press Community yang diinisiasi oleh SIEJ di Blok M Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024).
Ia menyebut perihal menghidupkan hukum sasi di tengah modernitas memiliki tantangan tersendiri. Di antaranya pendidikan yang lebih maju, alih-alih membuat kesadaran meningkat justru memiliki tantangan. Ditambah kultur masyarakat yang berubah tak seperti dulu lagi. Belum lagi kendala hukum sasi dengan pemerintah dengan kebijakan tumpang tindih.
“Tapi ada upaya terus menerus melestarikan sasi yang membuahkan hasil tangkapan nelayan, terpelihara terumbu karang, dan terpeliharanya Mangrove,” ujarnya.
Sasi hampir ada di seluruh desa adat di Maluku. Namun pola penerapan berbeda. Ia menilai ada banyak daerah yang memperbarui sasi untuk kondisi terkini. Bahkan yang sudah meninggalkan hukum sasi mulai berupaya lagi demi fungsi konservasi dan mengembalikan ekosistem laut.
Riza Salman, Journalist and Documentary Film Maker Sulawesi Tenggara mengatakan wilayah pesisir timur Indonesia memiliki gelombang yang cukup tinggi. Kondisi itu berpotensi menyebabkan krisis ikan.
Ia menyebut, warga pesisir Timur memiliki skema zona permanen yang tak boleh diakses. Zona itu dijaga ketat dan hasil alam tak boleh diambil. Ada hukum yang mengatur bagi pelanggar, baik denda uang maupun hukum adat. Caranya dengan membawa saksi dan yang dituduh mencuri untuk dipancang kayu dan menyelam.
“Ada zona buka tutup setahun sekali dan dibuka sebulan,” ujarnya.
Skema itu sukses dan faktanya tak pernah ada krisis ikan di lokasi tersebut. Bahkan warga tak perlu melaut dan saat surut, warga bisa mencari ikan di padang lamun yang kaya ikan. Sedangkan sistem pengawasan ditetepkan beberapa orang, secara bergiliran.
Lokasi zona permanen dibuat pembatas patok, semacam garis maya dan ada menara pengawasnya.
Sementara itu, Programme Manager Burung Indonesia Wahyu Teguh Prawira mengatakan laut Wallacea menjadi fokus proyek konservasi dari Yayasan Burung Indonesia. Kawasan tersebut memiliki keunikan berbasis adat lokal tapi ancaman cukup banyak.
“Kami bermain di tapak, kita cari siapa tokoh kunci dan kami petakan. Kita edukasi mereka menolak dulu biasanya,” ujarnya.
Menurutnya setelah memberikan contoh kesuksesan dan dibawa studi banding, biasanya warga mulai terbuka. Mereka diajak pelan-pelan dan biasanya mereka bisa melihat lebih baik.
“Kalau gak mempan lewat ibu-ibu. Peran perempuan sangat penting, maka aspek gender suatu keharusan,” ujarnya. (**)
Discussion about this post