Ambon, TM, – Masyarakat adat Marafenfen, Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru melalui Marga Bothmir, resmi menyatakan banding atas putusan PN Dobo terkait lahan seluas 689 hektar yang diklaim oleh TNI Angkatan Laut (AL).
Kuasa Hukum masyarakat adat, Semuel Waileruny mengatakan, permohonan banding telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Dobo. Dengan Akta pernyataan bernomor 11/Pdt.G/2021/PN Dobo dan telah diterima Panitera PN Dobo, Lorens Fenanlambir, Senin (29/11/2021) lalu.
“Kami sudah resmi ajukan permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Dobo, nomor 11/Pdt.G/2021/PN Dobo, Tanggal 17 November 2021,”ujar Waileruny, kemarin.
Diketahui, bahwa dalam perkara ini, Marga Bothmir menggugat Panglima TNI Cq Kasal RI, Gubernur Maluku, dan Badan Pertanahan Negara (BPN).
Namun dalam amar putusannya, Majelis Hakim PN Dobo, Firmansyah, Herdian E Putravianto dan Enggar Wicaksono, memutuskan menolak semua gugatan yang diajukan masyarakat adat dan menolak eksepsi para Penggugat, termasuk gugatan Rekonpensi yang diajukan TNI AL.
Padahal, kata dia, sejumlah saksi dan bukti telah diajukan ke persidangan, untuk menguatkan adanya dugaan rekayasa dalam daftar penyerahan tanah serta pembayaran atas tanaman milik masyarakat adat. Bahkan terungkap, 100 nama yang dicantumkan pihak TNI AL, ternyata ada yang cacat sejak lahir, bahkan fiktif.
Menariknya, kara Waileruny, semua fakta-fakta dipersidangan yang menunjukkan tanah ulayat masyarakat adat diambilalih dengan cara-cara manipulatif melalui pemalsuan dokumen musyawarah dalam pelepasan dan ganti rugi hak atas tanah atau cacat administrasi itu, ternyata dikesampingkan karena dianggap lemah.
Hakim, kata dia, tidak berupaya menggali kebenaran yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat marafenfen (Living law). Majelis Hakim, justru lebih condong untuk menggali kebenaran formal, yang hanya bersumber pada dokumen-dokumen formal yang dijadikan alat utama untuk menilai perkara.
Menurut dia, hakim tidak mengakui keabsahan bukti-bukti penguasaan hak atas sumber-sumber agraria dari masyarakat adat. Salah satu Hakim menyatakan, bahwa Penggugat tidak bisa menyertakan bukti kepemilikan hak atas tanah permulaan berupa surat pembayaran pajak, seperti girik sebagaimana dalam konteks masyarakat Jawa.
Mirisnya lagi, kata Waileruny, Hakim juga menilai semua hasil musyawarah majelis adat Ursia-Urlima sebagai bentuk dukungan penguatan hak ulayat yang sah masyarakat adat Marafenfen, tidak dianggap sebagai pranata hukum adat yang mengatur eksistensi masyarakat adat Marafenfen.
“Maka dengan itu, permohonan banding ini, kami telah melakukan perlawanan hukum untuk mencari keadilan,”tandas Waileruny. (TM-01)
Discussion about this post