Ambon, TM. – Dua kali, Ferry Tanaya dijadikan tersangka dalam kasus yang sama. Dia disangkakan ikut mark up tanah dari transaksi jual beli dengan PT PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara. Tanah itu, akan dibangun proyek PLTG di Namlea, Kabupaten Pulau Buru tahun 2015.
Status yang ditungguh itu akhirnya terkabul, setelah sebelumnya, Raja Tanah di Pulau Buru itu bebas demi hukum berdasarkan vonis Praperadilan Hakim Rahmat Selang yang berlangsung di Pengadilan Tipikor Ambon pada November 2020 lalu. Ferry ditetpkan sebagai tersangka penyidik berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor B-212/Q.1/Fd.2/01/2021, tanggal 27 Januari 2021.
“DaLam surat penetapan itu menetapkan F. T (Ferry Tanaya) sebagai Tersangka,” ungkap Kasipenkum dan Humas Kejati Maluku, Sammy Sapulette kepada media ini, Selasa 2 Februari 2021.
Taka hanya Ferry dalam penetapan tersangka itu. Abdul Gafur Laitupa juga ditetapkan tersangka, saat sebelumnya bersama Ferry bebas demi hukum atas kasus tersebut lewat jalur Praperadilan. Abdul Gaafur Laitupa ditetapakan berdasarkan Nomor B-213/Q.1/Fd.2/01/2021, tanggal 27 Januari 2021.
“Jadi, keduanya ditetapkan berdasarkan serangkaian tindakan penyidikan dalam perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam pengadaan tanah untuk lahan pembangunan PLTMG (Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas) 10 MV Tahun Anggaran 2016 di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, telah diperoleh bukti permulaan yang cukup dan setelah dilakukan ekspose/gelar perkara maka pada tanggal, 27 Januari 2021,” jelas Sammy.
Upaya Ferry untuk lolos pun apes, meski saat ini ia sementara melakukan gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Namlea atas objek 6,4 hektar yang dipersoalkan Kejati Maluku. Kejati Maluku sendiri sebagai tergugat II dalam gugatan pria berusia 61 tahun itu, dan BPN Namlea sebagai tergugat I. Namun, langkah itu tak memutus semnagat Kejati Maluku.
Langkah Kejati dinilai Ferry sebagai suatu perbuatan melanggar hukum. Bagaimana tidak, menurut Ferry melalui kuasa hukumnya, Henri Lusikooy, tindakan kejati Maluku menetapkan Ferry Tanaya sebagai tersangka adalah sesuatu tindakan yang melanggar hukum.
“Kenapa kita sebut suat kesalahan hukum. Karena Pasal 81 KUHPidana jelas. Kami sudah masukan surat penanguhan ke Kejati sejak tanggal 25, dan 27 bar Ferry ditetapkan sebagai tersangka. Nah ini suatu kesalahan. Bunyi pasal 81 KUHP itu menerangkan, penyidik wajib melakukan penanghan penyidikan selama proses gugatan prayudisial itu sedang berlangsung, itu wajib,” tegas Henri Lusikooy.
Henry mengaku, akibat dari kesalahan ini, pihaknya bersama dengan rekan pengacaranya yang lain akan menempuh proses lainnya, dengan melaporkan penyidik Kejati Maluku ke Kejaksaan Agung (Kejagung) RI atas tindakan penyidik yang menayimpingan aturan.
“Apakah Paal 81 KUHP itu tidak lagi berlaku. Ini suatu kesalahan hukum. Kami akan melapor ke Kejagung,” tandas Lusikooy.
Henri Lusikooy mengatakan, terkait objek lahan 6,4 meter persegi terjadi sengketa kepemilikan baik Ferry Tanaya maupun Kejati Maluku selaku tergugat II dalam gugatan PMH tersebut.
Pasalnya, kata dia, objek lahan tersebut dilepaskan Ferry Tanaya ke pihak PLN untuk pembangunan proyek PLTG Namela itu adalah sah milik Ferry. Namun, tergugat II (Kejati Maluku) mengkleim tanah rersebut adalah milik Negara.
“tergugat II, dia mengkleim bahwa, tanah yang di lepaskan Ferry kepada PLN adalah tanah Negara sementara ferry mengkleim tanah itu adalah miliknya. Sehingga ada sengketa jepimilikan diatas tanah itu, nah yang bisah memutuskan siapa peniliknya adalah Pengadilan dari sisi keperdataan. Makanya kita gugat PMH. BPN Namlea selaku tergugat I, Kejati Maluku tergugat II,”jelas Hendri kepada media ini, Minggu 24 Januari 2021.
Menurutnya, sengketa kepimilikan ini harus diuji secara keperdataan di Pengadilan. Sehingga, tidak salah arah. Apalagi, lanjut dia, saat ini tergugat II sedang melakukan rangkaian penyidikan terhadap kasus tersebut dengan dalil penjualan tanah Negara oleh Ferry Tanaya.
Sementara tergugat I, lanjut Henri, melaluu Kanwil BPN Maluku telah mengeluarkan peta bidang atas bidang tanah yang dimiliki oleh Ferry Tanaya yang juga diketahui oleh tergugat 1. Akan tetapi tergugat 1 tidak mampu membantah kleim yang dilakukan oleh Kejati Maluku selaku tergugat II.
“PMH ini kita daftar tanggal 22 Januari 2021 dengan register Nomor 02/pdt.G/2021/PN.NLA. Oleh karena itu, proses penyidikan pidana yang dilakukan oleh tergugat II menurut pasal 81 KUHAP harus ditangguhkan selama prayudisia berlangsung. Saat ini, kita hanya menunggu panggilan sidang dari pengadilan saja,” ujar Henri.
Sekdar tau, kasus PLTG Namlea tahun 2015 ini tengah dalam penyidikan Kejati Maluku. Audit kerugian keuangan Negara oleh BPKP Maluku juga dikantongi dengan nilai kerugian atas kasus tersebut senilai Rp. 6 miliar lebih.
Ferry Tanaya digadang orang yang bertanggung jawab atas penjulan lahan negara kepada PLN itu.
Ferry sendiri awalnya sudah tersangka, namun kembali bebas melalui praperadilan yang diajukan olehnya saat itu, dan hakim Rahmat Selang membebaskannya.
Jaksa tak tinggal diam. Sehari setelah vonis praperadilan itu, mereka menerbitkan SPRINDIK untuk kembali menyeret Ferry Tanaya.
Kepala Kejati Maluku, Rorogo Zega mengatakan, perbuatan pidana Ferry Tanaya dalam kasus penjualan lahan untuk pembangunan PLTMG di Namlea, itu ada. Hanya saja secara formil atau administrasi penyidikannya telah dibatalkan oleh putusan praperadilan.
“Tidak bermasalah, karena perbuatannya itu belum diputuskan pengadilan atau belum dipertimbangkan oleh pengadilan. Yang dipertimbangkan pengadilan adalah penyidikannya. Makanya putusannya membatalkan penetapan tersangka, perbuatan pidananya belum di apa-apain,” jelasnya.
Mantan Kepala Kejari Ambon ini mengungkapkan, Ferry Tanaya tidak memiliki rumah dan tanah di Pulau Buru. Hal ini diketahui setelah Kejati Maluku meminta BPN setempat melakukan tracing terhadap aset Tanaya di Buru.
“Kami sudah minta ke BPN untuk melakukan tracing aset terdakwa di Buru, dan tidak tercatat juga atas nama Ferry Tanaya, tidak ada. Dan sudah ada buktinya di kita. Bahwa Ferry Tanaya tidak punya rumah atau pun tanah di Buru itu,” beber Zega.
Zega mengatakan, transaksi jual beli lahan antara pihak UIP Maluku dengan Ferry Tanaya berakibat Abdul Gafur Laitupa yang saat itu menjabat Kepala Seksi Pengadaan Tanah BPN Buru turut ditetapkan sebagai tersangka.
Laitupa yang memuluskan transaksi jual beli itu, sehingga PLN membayar Rp 6,3 miliar kepada Ferry Tanaya.
“Nih, Gafur tidak mengatakan ini ada nomor peta bidangnya dan bisa dibayar, maka dia yang muluskan pembayaran. Bukti hak tanah Fery Tanaya tidak ada,” ujarnya.
Zega menambahkan, pihaknya akan maraton melakukan penyidikan, agar kasus ini kembali dilimpahkan ke pengadilan.
“Jadi, kita maraton dan kita lakukan secepatnya. Ferry Tanaya sudah dijadwalkan untuk diperiksa,” tandasnya. (TM-01)
Discussion about this post