Ambon, TM.- Bahasa Moa, salah satu dari 14 bahasa daerah di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) yang terancam punah. Pemda setempat tak tinggal diam.
Kini bahasa Moa menjadi fokus utama dalam program Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) yang dilaksanakan oleh Balai Bahasa Provinsi Maluku. Upaya tersebut dilakukan sebagai respon terhadap menurunnya jumlah penutur muda yang menggunakan bahasa daerah.
Berdasarkan data Peta Bahasa Badan Bahasa 2019, terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia, dengan 71 di antaranya berada di Provinsi Maluku.
Kepala Balai Bahasa Provinsi Maluku, Kity Karenisa mengatakan, 19 persen dari sejumlah bahasa tersebut tidak lagi dituturkan oleh generasi muda.
Demikian disampaikannya dalam kegiatan Bimbingan Teknis Pengajar Utama Bahasa Moa untuk Tunas Bahasa Ibu di SD Negeri 1 Tiakur, Senin (11/8/2025).
Kity mengaku prihatin terhadap kondisi tersebut. Mengacu pada Statistik Kebahasaan dan Kesastraan 2024, banyak bahasa daerah di Maluku mengalami kemunduran vitalitas, termasuk bahasa Moa dalam kategori terancam punah.
ini, kata dia, lantaran sebagian besar penuturnya berusia di atas 20 tahun, dan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari, terutama kepada anak-anak.
“Vitalitas bahasa Moa semakin menurun. Jika dibiarkan, bahasa ini bisa masuk kategori kritis, yaitu hanya dituturkan oleh masyarakat berusia 40 tahun ke atas dalam jumlah yang sangat sedikit,”ungkap Kity.
Kity menegaskan pentingnya melestarikan bahasa daerah sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya.
“Mempertahankan bahasa seperti merawat anak agar tetap hidup, tumbuh, dan berkembang dengan kasih sayang serta keterlibatan semua pihak,”ujarnya.
Melalui program RBD yang berjalan selama tiga tahun ke depan, Balai Bahasa Maluku mendorong Pemkab MBD agar turut menemukan formula pelestarian bahasa lokal, terutama Bahasa Moa.
Wakil Bupati MBD, Agustinus L. Kilikily yang turut hadir dalam kegiatan tersebut, ikut mendukung program tersebut.
Dalam sambutannya, Wabup menyampaikan keprihatinan terhadap semakin banyaknya anak-anak yang tidak lagi memahami atau menggunakan Bahasa Moa dalam keseharian.
“Ini adalah sinyal peringatan. Ketika bahasa daerah punah, maka budaya dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya juga ikut hilang,”tegasnya.
Agustinus menegaskan bahwa Revitalisasi Bahasa Daerah bukan sekadar program pelestarian, melainkan langkah strategis agar bahasa ibu tetap hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Ia juga mendorong para peserta Bimbingan Teknis agar berkomitmen penuh dalam menyerap materi pelatihan dan menerapkannya di lapangan.
“Kami berharap ke depan akan ada regulasi penggunaan bahasa daerah dalam muatan lokal sekolah. Ini akan menjadi langkah konkret dalam pelestarian bahasa ibu,”pungkasnya.(TM-03)