Ambon, TM.-Stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHIV) masih menjadi tantangan besar di tengah masyarakat. Kurangnya pemahaman kerap melahirkan diskriminasi yang mematikan kondisi psikologis dan kesehatan bagi penyuntas.
Untuk menjawab tantangan ini, tim dosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Prof. JA Latumeten Ambon, masing-masing Rita Kombong, Glory Riana Latuperisa, Sylvianovelista R Losoiyo melaksanakan program pengabdian masyarakat pemula di Gereja Eden, Kudamati, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon, Jumat (27/6/2025).
Kegiatan yang juga dihadiri Ketua Yayasan Inset ini menyasar kalangan ibu rumah tangga (IRT) jemaat sebagai aktor kunci dalam edukasi dan penghapusan stigma terhadap HIV/AIDS.
Rita Kombong, dosen sekaligus narasumber dalam kegiatan tersebut, menjelaskan bahwa pemilihan ibu rumah tangga sebagai peserta bukan tanpa alasan.
“Mereka adalah figur sentral dalam keluarga. Jika mendapatkan informasi yang benar, mereka bisa menjadi pendukung utama bagi anggota keluarga yang hidup dengan HIV,” ujarnya.
Pendidikan yang diberikan mencakup pengetahuan tentang cara penularan HIV, metode pencegahan, serta pelatihan perawatan luka dan komunikasi efektif.
Tak kalah pentingnya, peserta dibekali pemahaman mengenai peran keluarga dalam mendampingi ODHIV menjalani pengobatan antiretroviral (ARV) secara teratur.
Berdasarkan data, terdapat sekitar 528 ODHIV di Kota Ambon yang sempat putus asa berobat, termasuk 20 kasus di Kecamatan Nusaniwe. Situasi ini mencerminkan masih rendahnya dukungan sosial pada tingkat keluarga dan komunitas.
“Masih banyak mitos yang keliru seperti HIV menular melalui pelukan atau gigitan nyamuk. Padahal, HIV hanya bisa menular melalui darah, cairan kelamin, dan ASI dari ibu yang terinfeksi. Fakta-fakta ini harus terus disebarluaskan,” tegas Ritha.
Dalam kegiatan tersebut, peserta juga memperkenalkan gejala umum HIV seperti demam berkepanjangan, sariawan, diare kronis, pembengkakan kelenjar getah bening, dan batuk terus-menerus.
Selain itu, mereka diberi informasi tentang ARV, obat yang tersedia gratis di sejumlah fasilitas kesehatan, meskipun tidak menyembuhkan HIV, mampu menekan jumlah virus dan memungkinkan penyintas menjalani hidup sehat.
Kerja sama dengan gereja dipandang sebagai strategi dalam menyampaikan pesan edukatif secara berkelanjutan.
“Melalui mimbar gereja, pesan-pesan pencegahan dan perlakuan terhadap ODHIV dapat disampaikan secara rutin dan menyentuh hati jemaat,” tambahnya.
Sayangnya, diskriminasi terhadap ODHIV masih sering terjadi, mulai dari penolakan layanan kesehatan, pemutusan hubungan kerja, hingga pengucilan sosial.
Ritha menekankan pentingnya peran keluarga dan masyarakat untuk menjadi pelindung, bukan justru menjadi penyebab trauma baru.
“Kalau keluarga menolak, kondisi psikologis penderita bisa memburuk. Ini akan berdampak langsung pada kesehatan mereka,” ujarnya.
Kegiatan ditutup dengan sesi diskusi antara narasumber dan peserta. Para ibu rumah tangga yang hadir diharapkan mampu menjadi agen perubahan di lingkungannya, menyebarkan informasi yang benar, serta mendorong terciptanya komunitas yang inklusif dan bebas stigma terhadap HIV/AIDS.(TM-02)