Namlea, TM.– Aktivis Muhammadiyah, Abdul R. Wabula, mengecam praktik penjualan bahan berbahaya dan beracun (B3) jenis sianida di kawasan pertambangan rakyat Gunung Botak, Kabupaten Buru.
Penjualan tersebut Diduga dilakukan oleh PT Intan Kemilau Alam, mitra resmi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).
Menurut Wabula, sianida dijual bebas dengan harga yang sangat tinggi, mencapai Rp35 juta hingga Rp40 juta per kaleng ukuran 50 kilogram. Kondisi ini dinilai menyulitkan para penambang rakyat yang beroperasi melalui koperasi.
“Kami menemukan harga sianida di lapangan mengalami kenaikan signifikan, bahkan tidak lagi terjangkau mayoritas penambang kecil,” ujar Wabula melalui rilis yang diterima media ini, Senin (8/9/2025).
Ia menuding adanya praktik monopoli oleh oknum tertentu yang disebutnya sebagai Ibu Diana dan Dewa, beralamat di Unit 17. Menurutnya, kelompok pemodal besar ini mempermainkan harga dan menyingkirkan masyarakat penambang kecil dari akses bahan kimia tersebut.
Lebih jauh, Wabula menilai praktik kapitalistik itu telah memicu ketimpangan, konflik sosial, hingga kerugian ekonomi bagi warga lokal yang menggantungkan hidup dari tambang emas Gunung Botak.
Distributor resmi yang seharusnya memberi solusi justru dianggap bagian dari masalah karena lemahnya kontrol harga dan distribusi.
“Kami berharap dilakukan peninjauan ulang terhadap kerja sama PT PPI dengan PT Intan Kemilau Alam. PT PPI juga harus menetapkan sistem distribusi dan harga yang transparan serta adil,” tegasnya.
Ia menambahkan, dugaan praktik penguncian distribusi sianida oleh Ibu Diana dan Dewa semakin memperburuk situasi pasca penertiban obat-obatan oleh Polres Pulau Buru beberapa bulan lalu, yang menurutnya tidak signifikan dan terkesan tebang pilih.
“Ironisnya, kenaikan harga sianida yang dilakukan Ibu Diana dan Dewa tidak pernah tersentuh hukum, baik oleh Polres Pulau Buru maupun Polda Maluku. Jika dibiarkan, bisa jadi ada koordinasi tertentu yang membuat barang ini selalu aman beredar tanpa hambatan,” pungkas Wabula.(TM-04)