Ambon, TM.— Seekor ikan purba coelacanth (Latimeria menadoensis) berhasil didokumentasikan hidup di perairan laut dalam Maluku Utara. Penemuan ini menjadi pencapaian penting dalam sejarah eksplorasi bawah laut Indonesia, sekaligus memperkaya pemahaman tentang keanekaragaman hayati kawasan timur Nusantara.
Penemuan tersebut dilakukan oleh tim ilmiah dari Universitas Pattimura, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Udayana, dan Universitas Khairun dalam rangka ekspedisi UNSEEN (Underwater Scientific Exploration for Education).
Ikan coelacanth dewasa itu terlihat di kedalaman 145 meter dan berhasil direkam oleh dua penyelam trimix, menjadikannya dokumentasi pertama di Indonesia yang dilakukan langsung oleh manusia, bukan lewat kapal selam atau robot bawah air.
“Ini membuktikan bahwa laut dalam Maluku menyimpan kekayaan hayati luar biasa, termasuk spesies langka berusia jutaan tahun,” kata Dr. Gino Limmon, dosen Universitas Pattimura dan pimpinan ekspedisi.
Menurut Limmon, ikan coelacanth ditemukan di zona terumbu karang mesofotik yang berada pada kedalaman 30 hingga 150 meter.
Ia menegaskan pentingnya memperluas penelitian di wilayah tersebut guna mengungkap potensi biodiversitas lain yang belum tereksplorasi.
Ekspedisi ini mendapatkan dukungan dari Blancpain Ocean Commitment dan melibatkan kolaborasi internasional yang memadukan data batimetri, catatan sejarah kelautan, serta keahlian dalam eksplorasi laut dalam Indonesia.
Professor Kerry Sink dari South African National Biodiversity Institute menilai penemuan ini sangat penting bagi riset evolusi dan konservasi.
“Penyelaman menggunakan gas campuran di laut dalam sangat menantang. Fakta bahwa spesies ini bisa didokumentasikan langsung adalah sebuah terobosan,” ujarnya.
Lokasi penemuan sengaja dirahasiakan guna melindungi habitat alami ikan coelacanth dari ancaman aktivitas manusia. Para peneliti mendorong pengembangan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di wilayah tersebut sebagai langkah preventif.
Peneliti BRIN, Dr. Augy Syahailatua, menambahkan bahwa keberadaan coelacanth di Maluku Utara menjadi dasar kuat untuk memperluas kebijakan perlindungan laut dalam.
“Spesies ini sangat sedikit jumlahnya di dunia. Walau sudah dilindungi oleh CITES, tanpa perlindungan habitat, ancaman terhadapnya tetap tinggi,” kata Augy.
Dr. Mark Erdmann, penasihat proyek ekspedisi, mengingatkan bahwa coelacanth pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1997 di perairan Manado.
Spesies tersebut kemudian diklasifikasikan sebagai berbeda dari coelacanth Afrika (Latimeria chalumnae), dan menjadi ikon penting dalam studi evolusi karena keterkaitannya dengan nenek moyang vertebrata darat.
“Sejak 1999 kami bertanya-tanya apakah coelacanth juga ada di Maluku Utara. Kini pertanyaan itu terjawab. Ini adalah tonggak penting bagi riset konservasi di masa mendatang,” ujarnya.
Dengan status ‘Rentan’ menurut IUCN dan meningkatnya tekanan terhadap laut dalam—seperti polusi, penangkapan ikan destruktif, dan eksplorasi tambang—peneliti berharap temuan ini mendorong komitmen lebih besar terhadap konservasi berkelanjutan di wilayah timur Indonesia.(TM-02)