Ambon, TM — Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT) Universitas Pattimura menggelar Sosialisasi Anti Kekerasan bagi Mahasiswa di Aula Rektorat Universitas Pattimura, Kamis (27/11).
Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai berbagai bentuk kekerasan sekaligus memperkuat budaya kampus yang aman, inklusif, dan responsif terhadap korban.

Rektor Universitas Pattimura, Prof. Dr. Fredy Leiwakabessy, saat membuka kegiatan menegaskan bahwa Satgas PPKPT kini tidak hanya menangani kasus kekerasan seksual, tetapi telah berkembang menjadi unit yang fokus pada enam bentuk kekerasan.
“Cakupan Satgas kini meliputi kekerasan seksual, perundungan, intimidasi, diskriminasi, pelecehan verbal, kekerasan fisik, serta tindakan pemerasan atau kekerasan yang dirancang untuk merugikan pihak lain,” ujarnya.
Rektor menambahkan bahwa kekerasan bisa terjadi bukan hanya pada mahasiswa, tetapi juga dosen dan tenaga kependidikan.
Rektor juga menekankan bahwa kekerasan sering tidak tampak secara kasatmata. Tekanan verbal, intimidasi, dan perundungan, menurutnya, juga merupakan bentuk kekerasan yang kerap muncul dalam interaksi kampus.
Ia mendorong mahasiswa untuk berani melaporkan setiap tindakan kekerasan yang dialami maupun disaksikan.
“Ruang publik Unpatti terbuka. Tidak ada yang ditutup-tutupi. Jika terjadi kekerasan, laporkan,” tegasnya.
Rektor berharap sosialisasi ini menjadi sarana edukasi efektif, mengingat jumlah mahasiswa Unpatti yang mencapai lebih dari 28.000 orang. Mahasiswa yang hadir juga diminta menyebarkan informasi kepada rekan-rekan lainnya.
“Kekerasan yang merusak ketenangan dan kenyamanan belajar adalah tindakan yang harus kita lawan bersama,” katanya.
Ketua Satgas PPKPT Unpatti, Dr. Julista Mustamu, menjelaskan bahwa Satgas dibentuk pada 2022 sebagai tindak lanjut Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021. Namun, cakupan tersebut diperluas melalui Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 seiring meningkatnya berbagai bentuk kekerasan di perguruan tinggi.
“Dengan regulasi baru, Satgas tidak lagi hanya menangani kekerasan seksual, tetapi juga fisik, psikis, intoleransi, perundungan, dan kebijakan diskriminatif,” ujar Mustamu.
Lingkup tersebut mencakup mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan, hingga mitra universitas.
Ia mengungkapkan bahwa dalam satu tahun terakhir, Satgas telah menangani lebih dari lima kasus kekerasan di lingkungan kampus. Namun jumlah tersebut dinilai sebagai fenomena gunung es mengingat masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
“Karena itu, dia menekankan pentingnya pencegahan, edukasi, dan pemenuhan hak-hak korban, termasuk layanan psikologi dan bantuan hukum,” ungkap Mustamu.
Kegiatan sosialisasi ini juga menjadi momentum memperkuat jejaring layanan terpadu dengan pemangku kepentingan, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku dan Komnas HAM Perwakilan Maluku. Dr. Mustamu menyebut kolaborasi tersebut penting untuk mewujudkan kampus yang aman dan responsif gender.
“Saya mengapresiasi dukungan pimpinan universitas terhadap kerja Satgas. Menurutnya, rekomendasi Satgas bersifat mengikat dan telah menghasilkan sanksi tegas terhadap pelaku kekerasan, baik mahasiswa maupun dosen,” tanda dia.
Di akhir kegiatan, dilakukan penandatanganan komitmen bersama antara Universitas Pattimura, Kepolisian Daerah Maluku, Komnas HAM Perwakilan Maluku, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Maluku.
Komitmen tersebut mempertegas langkah bersama dalam mencegah dan menangani kekerasan di lingkungan Perguruan Tinggi. (TM-02)
















