Ambon, TM. — Hingga pertengahan 2025, Provinsi Maluku belum juga memperoleh kepastian hukum atas hak Participating Interest (PI) sebesar 10 persen dari pengelolaan sektor minyak dan gas bumi (migas). Padahal, aturan tersebut telah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 37 Tahun 2016.
Kondisi ini dinilai merugikan daerah, terutama dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat Maluku. Hal itu disampaikan Anggota DPRD Provinsi Maluku, Alhidayat Wajo, saat memberikan keterangan pers di Baileo Rakyat Karang Panjang, Ambon, Jumat (13/6/2025).
“BUMD migas tidak bisa beroperasi tanpa kepastian hukum atas PI 10 persen. Regulasi sudah ada sejak 2016, tapi sampai sekarang belum ada realisasi. Ini bukti pemerintah pusat belum berpihak pada kepentingan daerah,” ujar Wajo.
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, PI 10 persen merupakan bentuk keikutsertaan daerah penghasil migas melalui BUMD dalam aktivitas usaha hulu migas. Tujuannya jelas, yakni agar daerah turut menikmati hasil eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di wilayahnya.
Namun, hingga kini belum ada penandatanganan resmi dari Kementerian ESDM terkait PI 10 persen untuk Maluku. Akibatnya, pembentukan BUMD migas di daerah belum dapat dijalankan secara optimal.
“Tanpa realisasi PI, angka 10 persen itu hanya menjadi jargon. Tahun 2024, PAD Maluku dari sektor migas hanya berkisar Rp5 miliar—sangat kecil dibandingkan potensi migas yang kita miliki,” tambahnya.
Wajo menekankan bahwa minimnya penerimaan migas bisa melemahkan posisi tawar Maluku dalam menjalin kemitraan dengan investor nasional maupun internasional. Ketidakpastian regulasi membuat investor enggan melibatkan daerah dalam pengelolaan hulu migas.
Karena itu, ia mendesak Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku untuk menjadikan percepatan realisasi PI 10 persen sebagai prioritas utama dalam masa jabatan mereka.
“Jangan sampai daerah penghasil hanya jadi penonton. Sementara pusat dan kontraktor yang menikmati hasilnya,” katanya.
Sebagai informasi, Permen ESDM Nomor 37 Tahun 2016 mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama menawarkan PI 10 persen kepada BUMD setelah Plan of Development (PoD) disetujui. Namun dalam pelaksanaannya, sejumlah daerah, termasuk Maluku, masih terkendala teknis dan birokrasi yang berbelit.
“PI 10 persen bukan sekadar angka. Ia adalah simbol kedaulatan ekonomi daerah. Jika terus tertunda, maka Maluku akan terus tertinggal di tanahnya sendiri,” pungkas Wajo.(TM-02)