AMBON, TM.— Dugaan intervensi dalam proyek rehabilitasi gedung kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Buru tahun anggaran 2025 menyeret nama-nama dari lingkungan Kejaksaan.
Proyek senilai Rp6,32 miliar yang dibiayai oleh Kejaksaan Agung (Kejagung RI) itu kini menjadi sorotan setelah pemenang lelang resmi tidak dilibatkan dalam pelaksanaan pekerjaan.
Informasi yang beredar menyebutkan, salah satu anggota Kelompok Kerja (Pokja) dari Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kejagung RI yang bertugas di Kejati Maluku telah diperiksa oleh Bidang Pengawasan Kejati Maluku.
Pemeriksaan dilakukan terkait dugaan penyimpangan prosedur lelang yang dimenangkan oleh CV. Hulung Raya namun dikerjakan oleh CV. Deff’s Contruksi.
“Pokja itu dari Kejagung, tapi yang di Maluku satu orang sudah diperiksa. PPK-nya belum,” ungkap sumber timesmaluku.com, Rabu (14/5/2025). Sosok Pokja yang diperiksa diduga berinisial “T”.
Berdasarkan hasil lelang yang digelar Pokja pada 22 Maret 2025, CV. Hulung Raya dinyatakan sebagai pemenang. Namun, secara mengejutkan, proyek justru dikerjakan oleh CV. Deff’s Contruksi yang sebelumnya kalah dan telah mengajukan sanggahan namun ditolak.
CV. Hulung Raya yang tidak dilibatkan merasa dirugikan. Mereka tak bisa berbuat banyak karena diduga mendapat tekanan yang bersifat intimidatif, bahkan disebut-sebut dibungkus dengan kewenangan jaksa.
Sumber menyebutkan, kontrak pekerjaan ditandatangani oleh seorang Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di Kejari Buru. Diduga, sang PPK menggunakan kewenangannya untuk mengalihkan proyek ke CV. Deff’s secara sepihak, meski tidak berhak.
Upaya konfirmasi terhadap Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Maluku, Ardy, tidak membuahkan hasil. Pesan yang dikirim wartawan melalui WhatsApp tidak dijawab. Hal serupa juga terjadi saat menghubungi Kajari Buru, Andrias Notanubun.
Sementara itu, informasi beredar bahwa Satgas 53, unit pengawasan internal di tubuh Kejaksaan, kini telah turun tangan menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut.
Praktisi hukum Maluku, Fileo Pistos Noija, menilai peristiwa ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. Ia menyebut, indikasi korupsi sudah terlihat sejak proses lelang.
“Kalau pemenangnya tidak kerja, lalu yang kalah yang kerja, itu jelas pelanggaran hukum. Harus dibatalkan kontraknya dan ditinjau ulang lelangnya,” tegas Noija di Ambon, belum lama ini.
Noija juga menyesalkan bahwa pelanggaran ini terjadi di lingkungan Kejaksaan — institusi yang seharusnya berdiri di garis depan pemberantasan korupsi.
“Ini ironis. Institusi penegak hukum justru diduga melakukan pelanggaran hukum. PPK dan Pokja harus diperiksa secara tuntas,” tandasnya. (TM-04)