Ambon, TM.— Ratusan warga adat Negeri Hukuinalo–Rumahtiga, Kecamatan Teluk Ambon, Senin (13/10), mendatangi Kantor DPRD Provinsi Maluku di kawasan Karang Panjang, Ambon.
Mereka menuntut lembaga legislatif daerah itu turun tangan memperjuangkan hak-hak adat atas tanah dati yang kini digugat kepemilikannya oleh pihak lain.
Aksi yang berlangsung sejak pagi itu diwarnai orasi, pembentangan spanduk, hingga pembakaran ban bekas di depan gerbang kantor DPRD. Massa kemudian menyerahkan pernyataan sikap kepada Ketua DPRD Maluku, Benhur George Watubun, yang secara langsung menemui mereka di ruang Komisi I.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan perwakilan masyarakat adat, Adam Rahantan, disebutkan bahwa Negeri Rumahtiga telah berdiri sejak abad ke-17 di bawah kepemimpinan Raja Willem Hatulesila bergelar Latu Utu.
Keluarga Hatulesila, menurut Rahantan, merupakan pemegang hak ulayat atas tanah-tanah adat di wilayah Rumahtiga, Poka, Wayame, hingga Tihu.
“Selama ini tanah adat kami digugat dan digunakan tanpa seizin pemilik dati. Banyak sertifikat terbit tanpa dasar hukum yang sah. Kami datang ke DPRD untuk mencari keadilan,” kata Rahantan dalam orasinya.
Ia mencontohkan pembangunan Tugu Prof. Dr. Agustinus Siwabessy yang berdiri di atas tanah adat, namun hingga kini belum ada pembayaran ganti rugi oleh pihak Universitas Pattimura (Unpatti).
Selain itu, masyarakat juga mempermasalahkan sejumlah bidang tanah yang dikelola Pemprov Maluku, antara lain kawasan Pemda I–III di Rumahtiga.
Rahantan mengancam, bila aspirasi mereka tak direspons, masyarakat adat akan memberlakukan sasi adat terhadap lokasi-lokasi yang menjadi objek sengketa.
“Kami akan ambil langkah adat kalau pemerintah tidak menindaklanjuti,” ujarnya.
Dalam dokumen tuntutan yang diserahkan kepada DPRD, masyarakat adat meminta agar: DPRD membantu menegakkan hak kepemilikan tanah adat sesuai amanat reformasi agraria;
Memanggil Biro Hukum Pemda Maluku, BPN Kota Ambon, dan keluarga Hatulesila untuk membahas ganti rugi tanah pembangunan Tugu Siwabessy;
Meninjau kembali Sertifikat Hak Pakai milik Pemda Maluku (HGB No. 02 Tahun 1994) yang dinilai terbit di atas tanah adat tanpa pelepasan resmi dari ahli waris Hatulesila.
Menanggapi aksi tersebut, Ketua DPRD Maluku Benhur George Watubun menegaskan bahwa lembaganya siap menjadi penengah dalam setiap persoalan masyarakat adat, asalkan disertai bukti kepemilikan yang jelas dan sah.
“Teman-teman datang membawa aspirasi soal tanah adat Rumahtiga. Kami tentu akan bantu, tapi harus didukung dengan data lengkap. Kalau datanya tidak kuat, keputusan bisa tidak berpihak pada keadilan,” kata Watubun kepada wartawan usai menerima perwakilan masyarakat adat.
Politikus PDI Perjuangan itu menilai, penyelesaian konflik tanah adat harus dilakukan secara tegas dan transparan, agar tidak memunculkan konflik baru di kemudian hari. Ia juga meminta masyarakat menentukan secara jelas bidang tanah yang disengketakan.
“Negeri Rumahtiga ini luas, dari Poka sampai Wayame dan dusun-dusun di sekitarnya. Data harus akurat supaya bisa kami uji secara hukum,” ujarnya.
Watubun sekaligus mengingatkan masyarakat agar lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi atas tanah adat.
“Sering kali tanah adat dijual ke pengusaha tanpa sepengetahuan siapa pun. Tapi begitu bermasalah, baru datang ke DPRD sambil menuduh ada mafia tanah,” katanya mengingatkan.
Dalam pertemuan itu, DPRD menerima sejumlah poin aspirasi dari pendemo, antara lain: Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki penerbitan alas hak, surat keterangan tanah, dan sertifikat elektronik di kawasan adat Rumahtiga; Pemanggilan instansi terkait, termasuk Pemerintah Provinsi Maluku, BPN, dan pihak Unpatti; Penerbitan rekomendasi resmi DPRD setelah seluruh data dan klarifikasi diterima.
Watubun menegaskan, DPRD hanya akan berpihak kepada pihak yang dapat membuktikan kepemilikan sah berdasarkan hukum.
“Kalau ahli waris bisa buktikan di depan Pemprov, Unpatti, dan masyarakat, DPRD akan ambil sikap tegas,” ucapnya.
Ia memastikan, seluruh proses tindak lanjut akan dilakukan secara terbuka.
“Kami akan laporkan hasilnya secara transparan. Kalau nanti kami konferensi pers, masyarakat adat juga akan kami undang agar tahu perkembangan kasus ini,” tutup Watubun. (TM-02)