AMBON, TM – Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT), Yan Sairdekut, meminta Dinas Kehutanan Provinsi Maluku untuk lebih transparan dalam mengelola anggaran reboisasi dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari perusahaan HPH, PT Karya Jaya Berdikari (KJB).
Menurutnya, hingga saat ini Pemerintah Daerah (Pemda) KKT dan DPRD setempat tidak mengetahui secara pasti besaran anggaran reboisasi dan DBH yang seharusnya diterima.
Hal ini disampaikan Sairdekut dalam rapat bersama Komisi II DPRD Provinsi Maluku dan Dinas Kehutanan, Senin (10/2) di ruang rapat Komisi II DPRD Maluku, Karang Panjang, Ambon.
“Tidak ada asas keterbukaan dalam pengelolaan keuangan terkait perusahaan HPH ini. Kami meminta Dinas Kehutanan memberikan informasi jelas agar kami bisa melakukan pengawasan terhadap perusahaan ini,” ujar Sairdekut.
Ia menyoroti bahwa anggaran reboisasi yang menjadi tanggung jawab PT KJB hingga kini tidak jelas keberadaannya.
“Anggarannya di mana? Tersimpan di mana? Siapa yang mengelola? Hutan di Tanimbar sudah rusak, tapi dana reboisasi tak pernah kami terima. DBH juga tidak diketahui persentasenya untuk masyarakat setempat. Kami butuh kejelasan agar PAD daerah bisa meningkat dan mengatasi kemiskinan ekstrem di Kepulauan Tanimbar,” tegasnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku, Haikal Baadila, menyatakan bahwa anggaran reboisasi sebesar Rp 1 miliar selalu ditransfer ke Kas Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar setiap tahunnya.
“Dana reboisasi Rp 1 miliar setiap tahun ditransfer ke kas daerah,” ujarnya singkat. Namun, pernyataan ini masih menyisakan pertanyaan dari pihak DPRD KKT mengenai kejelasan penggunaan dan distribusi dana tersebut.
Selain transparansi dana, Ketua Komisi II DPRD KKT, Erens Feninlambir, menyoroti Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 01 Tahun 2012 tentang standar pemberian kompensasi kepada masyarakat terhadap kayu yang dipungut pada areal hak ulayat di Maluku.
Dalam pasal 5 ayat 3 pergub tersebut, besaran kompensasi kayu per kubikasi saat ini masih rendah, yakni: Kayu indah: Rp 35.000 (naik menjadi Rp 70.000 oleh PT KJB), Kayu merbau: Rp 17.500 (naik menjadi Rp 35.000 oleh PT KJB), Kayu non-merbau: Rp 10.000 (naik menjadi Rp 20.000 oleh PT KJB).
DPRD KKT mengusulkan kenaikan harga kompensasi kayu, yakni:
Kayu indah: Rp 1.000.000 per kubik
Kayu merbau: Rp 900.000 per kubik
Kayu non-merbau: Rp 500.000 per kubik
Selain itu, mereka meminta pembagian kompensasi yang lebih adil dalam Pasal 8 Ayat 2, yang saat ini 80 persen diberikan kepada pemilik hak ulayat dan 20 persen untuk pembangunan desa. DPRD KKT mengusulkan pembagian yang lebih seimbang, yakni 60 persen untuk pemilik hak ulayat dan 40 persen untuk pembangunan desa.
Menanggapi desakan revisi pergub ini, Komisi II DPRD Provinsi Maluku dan Dinas Kehutanan menyatakan tidak akan merevisi Pergub, melainkan akan meningkatkannya menjadi Peraturan Daerah (Perda). Saat ini, Komisi II DPRD Maluku telah menyiapkan Ranperda tentang Pengelolaan Hutan Adat, yang sedang dalam tahap harmonisasi.
Selain itu, Komisi II DPRD Maluku, Komisi II DPRD KKT, dan Dinas Kehutanan Maluku akan berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan untuk membahas lebih lanjut persoalan pengelolaan hutan dan distribusi dana reboisasi.
Feninlambir menambahkan, Komisi II DPRD KKT akan mempertanyakan langsung kepada Pemda terkait aliran dana reboisasi Rp 1 miliar yang diklaim telah ditransfer setiap tahun.
“Kami akan terus mengawal masalah ini. Kami ingin memastikan bahwa hak masyarakat dan Pemda Tanimbar benar-benar dipenuhi,” tegasnya.
Dengan langkah-langkah ini, DPRD KKT berharap terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kepulauan Tanimbar melalui transparansi keuangan dan kebijakan yang lebih adil dalam pengelolaan sumber daya hutan. (TM-02)