Ambon, TM.— Komisi III DPRD Provinsi Maluku mendesak aparat penegak hukum untuk menindak tegas Kuasa Direktur PT Bumi Perkasa Timur (BPT), Franky Gaspary Thiopelus alias Kipe, serta seluruh pihak yang diduga terlibat dalam penyalahgunaan kewenangan pengelolaan aset Ruko Pasar Mardika, Ambon.
Desakan tersebut mencuat dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III bersama sejumlah instansi teknis dan perwakilan pedagang, di ruang Paripurna DPRD Maluku, Senin (13/10/2025).
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Richard Rahakbauw, didampingi Koordinator Komisi Jhon Lewerissa dan anggota lainnya, membahas polemik antara Forum Komunikasi Pedagang Mardika (FKPM), Pemerintah Provinsi Maluku, dan PT BPT.
Persoalan tersebut terkait dugaan pelanggaran kontrak kerja sama dan penyelewengan setoran pendapatan dari pengelolaan ruko milik daerah.
Anggota Komisi III, Rovik Akbar Afifudin, menyoroti status hukum PT BPT yang disebut sudah tidak memiliki dasar hukum sejak berakhirnya perjanjian tahun 2017.
“Perjanjian lama 1987–2017 itu sudah berakhir. Tapi kemudian ada yang coba hidupkan lagi di 2022–2023 karena kedekatan tertentu. Padahal aset itu seharusnya sudah kembali ke Pemerintah Provinsi,” tegas Rovik.
Rovik juga mengecam tindakan sepihak Franky Thiopelus yang menggembok kios pedagang tanpa dasar hukum.
“Tidak punya kuasa penuh tapi datang menggembok orang punya ruko, ini bentuk arogansi dan penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Politisi PPP itu mendesak agar Komisi III secara resmi merekomendasikan proses hukum terhadap PT BPT dan pihak-pihak terkait.
“Kita minta kejaksaan dan aparat hukum segera periksa semua, mulai dari retribusi parkir, pendapatan ruko, sampai setoran ke kas daerah. Jangan sampai uang masuk tapi tidak sesuai kontrak. Intinya, mulai hari ini PT BPT tidak ada lagi,” tegasnya.
Nada serupa disampaikan anggota Komisi III Rostina, yang menyebut PT BPT sebagai penyebab utama kekisruhan di Pasar Mardika.
“BPT ini pembuat masalah. Kami minta Kepala BPKAD terbuka soal berapa setoran BPT ke kas daerah. Informasi yang kami dapat, mereka bayar terlalu rendah, sementara pedagang dipatok harga tinggi,” katanya.
Rostina menegaskan, DPRD akan terus mengawal proses hukum kasus ini hingga tuntas.
“Walau kepemimpinan di BPT atau Pemprov sudah berganti, pelanggaran masa lalu harus tetap diproses. Siapa pun yang menyalahgunakan kewenangan, wajib dihukum,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III Richard Rahakbauw mengingatkan bahwa persoalan ini bukan hal baru.
“Sejak dulu kita sudah merekomendasikan pemeriksaan, tapi tidak pernah ada tindak lanjut. Sekarang harus diseriusi, supaya tak terulang lagi,” ujarnya.
Komisi III juga berencana memanggil kembali seluruh pihak terkait, termasuk meminta salinan kontrak kerja sama antara Pemprov Maluku dan PT BPT, untuk memastikan kejelasan hak dan kewajiban serta aliran dana hasil pengelolaan aset Pasar Mardika.
Sebelumnya, Panitia Khusus (Pansus) DPRD Maluku telah mengungkap dugaan korupsi dalam pengelolaan 140 unit ruko milik Pemprov Maluku yang dikerjasamakan dengan PT BPT.
Berdasarkan temuan Pansus, 12 pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) telah membayar ke PT BPT sebesar Rp18,84 miliar, namun perusahaan hanya menyetor Rp5 miliar ke kas daerah — yakni Rp250 juta pada 2022 dan Rp4,75 miliar pada 2023.
Selain itu, Pansus juga menemukan dugaan pelanggaran dalam proses penetapan pemenang tender pemanfaatan aset ruko yang dimenangkan PT BPT. Temuan ini memperkuat indikasi adanya praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan daerah.
Dengan menguatnya temuan tersebut, DPRD Maluku melalui Komisi III menegaskan komitmennya untuk mengawal penyelesaian hukum terhadap dugaan pelanggaran dalam pengelolaan aset Pasar Mardika, yang selama ini menjadi sumber konflik antara pedagang dan pengelola.
“DPRD tidak akan berhenti sampai ada kepastian hukum dan kejelasan status aset milik daerah. Semua harus transparan,” tutup Rahakbauw. (TM-02)